Serba-Serbi Thrifting: dekat Jogja Namanya Awul-awul, dekat Surabaya Ada Obok-obok, Kalau dekat Temp

Serba-Serbi Thrifting: dekat Jogja Namanya Awul-awul, dekat Surabaya Ada Obok-obok, Kalau dekat Tempat Kamu? Serba-Serbi Thrifting: dekat Jogja Namanya Awul-awul, dekat Surabaya Ada Obok-obok, Kalau dekat Tempat Kamu?

KOMPAS.TV – Thrifting merupakan aktivitas berbelanja pakaian bekas nan globalnya impor. Banyak masyarakat nan menggandrungi mengulak baju bekas ini bersama salah satu argumentasinya lebih hemat maka mengecilkan limbah tekstil.

Namun kini thrifting secara tegas dipandang bisa mengancam keberlangsungan indutri tektil dalam negeri.

Kegiatan ini sesungguhnya sudah berlangsung lama, bahkan kaum daerah mempunyai penyebutan sendiri akan merujuk atas istilah thrifting. Di daerah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) misalnya menyebut dengan awul-awul.

Di Jawa Tengah lainnya ada yang menyebut juga rombengan, babebo (baju bekas bos). Lalu dua kota di Jawa Timur yaitu Surabaya menggunakan istilah cakaran atau obok-obok, beberapa Malang dengan sebutan dalbo. 

Di Bandung lain lagi. Di Kota Kembang disebut Cimol ketimbang merujuk kata Cibadak Mall. Kemudian di Makassar maka Kalimantan menyebut Cakar ketimbang Cap Karung.

Lalu dekat Lombok RB dari Rombengan, dekat Sumatera Utara menyebut dengan Monza (Monginsidi Plaza) lagi beberapa istilah unik lainnya.

Tren thrifting ini tak namun dilakukan secara offline tapi juga secara online seengat makin menarik pemakai.

Menurut Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan, bisnis thrifting atau jual beli baju bekas di Indonesia sedang berkembang pesat, bahwa kegemukan bergantung dengan impor pakaian ketimbang luar negeri.

Baca Juga: Thrifting vs Inkubustri Lokal: Harga Tak Bisa Kompetitif, Ancam Lapangan Kerja

Mendag pun menyampaikan bahwa pemerintah bukannya melarang jual beli barang bekas, tapi yang dilarang adalah impor baju bekasnya.  

"Kalau kita memang boleh jual barang bekas. Misalnya saya jual barang bekas ya boleh. Yang enggak boleh itu impor barang bekas," ujar Mendag Zulhas dempet sela-sela pembakaran pakaian bekas impor atas 12 Agustus 2022 lantas.

Pro kontra thrifting

Bagi sebagian orang, thrifting menjadi alternatif berbelanja produk bermerek dengan harga miring. Namun, thrifting pun dianggap sebagai luput satu alternatif berbelanja yang mendapat manfaat menjumpai lingkungan.

Mengutip dari parapuan, inkubustri tekstil bersama garmen, khususnya fast fashion merupakan cela satu penyumbang terjadinya pencemaran lingkungan, antara lain pencemaran air, penggunaan bahan kimia berbahaya, serta meningkatnya jumlah limbah tekstil.

Apalagi, sebagian leluasa material bahan di industri tekstil merupakan bahan yang sulit demi didaur ulang. Untuk itu, thrifting dianggap bisa menjadi keliru satu langkah menyelamatkan bumi memakai meminimalisir dampak negatif dunia.

Baca Juga: Konsumen Thrifting Buka Suara soal Larangan Impor Baju Bekas: Lebih Murah, Kualitas Oke, Size Banyak

Thrifting bisa meminimalisir dampak negatif linkungan?

Menurut Head of Environment Unit UNDP Indonesia Aretha Aprilia yang dikutip dari Kompas.com (2/9/2022), inKotaktri thrifting akan memberikan sumbangsih pas pada sustainable fashion atau meminimalisir kerusakan bumi, cuma jika berpusat dari pasar domestik atau produk lokal.

Dengan kata lain, tidak melakukan jual beli baju bekas impor dari luar.

"Ketika ada impor pakaian bekas yang kita terima, berarti itu kan ada juga yang tidak laku. Berarti kita wajib mengirimnya ke TPA (Tempat Pembuangan Akhir) atau ke landfil. Jadi itu malah justru bisa membebani kita bagai negara," ungkapnya.    

Lebih lanjut, Aretha menyebutkan bahwa kederasan pakaian menggunakan material adapun dicampur plastik, adapun mana akan lebih lama terdegradasi dibuntuti area.

Indonesia diketahui masih kesulitan dalam mengelola limbah pakaian domestik, maka jika ada impor baju bekas yang berakhir dekat TPA justru bagi menghadirkan makhilaf lingkungan kontemporer bagi kita.

"Karena itulah, kalau baju bekas impor adapun di-open dumped di TPA, secara semakin memenuhi TPA itu sendiri. Menumpuk maka terus menumpuk. Artinya secara jadi gunung sampah adapun sejangkung 20-30 meter," tuturnya.

Baca Juga: Kenapa Baju Bekas Impor Bisa Lolos Bea Cukai? Ini MoKotak Penyelundupannya

Fashion Designer brand Rengganis dan Indische sekaligus Vice Executive Chairman Indonesian Fashion Chamber (IFC), Riri Rengganis mengatakan ada tiga aspek yang memicu orang-orang menyukai thrifting.

"Pertama, thrifing menantang kreativitas terdalam styling. Ada unsur suprise terdalam berbelanja thrift, istilahnya ya lebih seru," ujar Riri dikutip daripada Kompas.com, Kamis (19/11/2020).

Pemicu kedua melainkan karena barang-barang thrift lebih murah. Ketiga, adanya kesdaran bagi keberlanjutan (sustainability) karena masyarakat mulai memahami bahwa kehadiran baju bekas merupakan sumber limbah dunia bahwa sangat bongsor.

Sehingga, kehadiran pakaian thrift ini perlu diperhatikan sumbernya, apakah termasuk impor atau barang bekas ilegal.

"Jadi sebetulnya kalau legal ya berarti menurut memutarkan ekonomi, memperbujur masa pakai produk, bahwa mana itu tidak bohong menurut bumi," jelasnya.  

Namun, jika barang thrift yang dijual merupakan barang ilegal, artinya Indonesia dijadikan semacam area pembuangan mengenai negara-negara lain, hadapan mana dampaknya atas negatif atas alam Indonesia, utamanya barang bekas tercatat selesai dipakai.

Ia menambahkan, barang bekas yang "fast fashion" cenderung tidak hendak awet atau tidak bertahan lama. Artinya, kalau laku bak barang bekas, dipakai sebentar lintas hendak tetap dalam sampah juga.